…si pemalu punya sedikit balas dendam bagi masyarakat atas siksaan yang dibebankan kepadanya. Dia sanggup, hingga derajat tertentu, untuk mengemukakan sengsaranya. Dia membuat takut orang lain sebagaimana halnya mereka membuatnya takut. Ia berfungsi sebagai peredam di seluruh ruangan, dan pribadi yang paling supel menjadi tertekan dan gelisah di hadapannya. Ini terutama disebabkan oleh kesalahpahaman. Banyak orang keliru menganggap sikap malu-malunya sebagai kesombongan yang tak termaafkan dan merasa terlecehkan.
Dan, sungguh, disalahpahami adalah takdir si pemalu pada setiap kesempatan. Kesan apapun yang ia coba untuk tampilkan, hasilnya tanpa terelakkan justru kebalikannya. Saat ia sedang bercanda, ada orang yang mengira ia lagi serius, lalu mengecam hal-hal yang dianggap tidak pantas dalam omongannya. Gaya sarkasmenya dipandang sebagai pendapat harafiah, dan membuatnya meraih reputasi sebagai orang tolol, sementara, bila ingin menyenangkan orang dengan sedikit menyanjung, akan dianggap sedang mengolok-olok dan malah membuatnya dibenci.
Ya, seorang pemalu merasakan kejamnya dunia, yang agar dapat dijalani dengan cukup nyaman membutuhkan kulit badak…seolah tanpa itu kalangan ini tak layak dilihat dalam masyarakat yang beradab. Makluk malang yang menghela napas dan merona wajahnya, dengan lutut yang gemetar dan tangan tersentak-sentak, adalah pemandangan yang menyakitkan bagi siapapun, dan jika ia tak dapat menyembuhkan dirinya sendiri, makin cepat ia pergi menggantung diri justru semakin baik.
…congkak adalah baju zirah terbaik yang dapat dikenakan seseorang. Jangan salah. Yang kumaksud tentunya bukanlah congkak yang menampilkan diri dengan hidung terangkat dan suara melengking. Itu bukanlah congkak yang sesungguhnya – melainkan hanya berlagak seolah-olah congkak; seperti halnya anak-anak bermain pura-pura menjadi raja dan ratu dan berjalan angkuh dengan hiasan bulu dan ekor jubah yang panjang. Kecongkakan yang sejati tidak membuat seseorang menjadi menyebalkan.
Sebaliknya, cenderung menjadikannya ramah, baik hati, dan apa adanya. Ia tak butuh kepura-puraan, karena ia terlalu puas dengan karakternya sendiri, dan kebanggaan dirinya terlalu kokoh terpancang sampai-sampai tak terlihat lagi dari luar. Sama cueknya terhadap pujian maupun celaan, ia dapat menampilkan diri sejujur apa adanya. Terlalu jauh, dalam angan-angan, melampaui umat manusia lainnya hingga tak tergundahkan oleh perbedaan remeh mereka, ia bersikap sama wajarnya terhadap seorang bangsawan ataupun pedagang di pinggir jalan. Tak menghargai standar siapapun selain miliknya sendiri, ia tak pernah tergoda untuk menerapkan kepura-puraan hina yang oleh orang-orang kurang mandiri dipersembahkan tiap jamnya kepada ‘dewa-pendapat-teman’ mereka.
Nasib si pemalu “menyedihkan” walaupun aku khawatir sesungguhnya mereka tak pernah dikasihani. Ada beberapa jenis kemalangan yang, sekalipun menimpakan penderitaan besar pada korbannya, tidak menimbulkan simpati di mata orang lain. Kehilangan payung, cinta tak terbalas, sakit gigi, mata lebam, dan mendapatkan topimu diduduki orang bisa disebutkan sebagai beberapa contohnya, namun yang terparah diantara semua itu adalah sifat pemalu. Seorang pemalu dianggap sebagai lelucon hidup. Kesengsaraannya menjadi gurauan di ruang pergaulan dan disebut-sebut serta dibahas secara brutal…
[Diterjemahkan selektif dengan penyesuaian, dari esai berjudul “On Being Shy” dari buku “Idle Thoughts of an Idle Fellow” oleh Jerome K. Jerome, penulis humoris dari Inggris (1859-1927).]
imesaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
14 comments:
aku menghela nafas panjang, aku baca lagi. mengena secara isi dan indah secara bentuk. its a poem!!!
"indah sekali cara penulis menggambarkan aku"
tapi paragrap 4 sama 5 agak kurang paham...
"makin cepat ia pergi menggantung diri justru semakin baik. "
sangat ga setuju dengan cuplikan kalimat diatas, Dosa Bunuh Diri SANGAT BESAR!!!
menurut pendapat saya, sepedih2nya di dunia, atau sebahagia2nya di dunia, bersifat sementara, siapa yang bisa nahan mati???
tapi kehidupan setelah mati, bersifat kekal abadi, bersabar (baca: menerima sambil berusaha memperbaiki diri) di alam fana ini, bisa jadi menghasilkan bekal yang sangat besar untuk kehidupan nanti...
just my opinion...
same with me, dalam pengertian bahwa bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,,, dan dalam sudut pandang agama tak boleh,,
aniway.. konteks yang dimaksud penulis mungkin lain dengan yang ada dalam persepsi kita, masalah interpretasi, multi interpretable.
" Ia berfungsi sebagai peredam di seluruh ruangan, dan pribadi yang paling supel menjadi tertekan dan gelisah di hadapannya." persis seperti dalam 'anxiety yang menular' yang pernah kutulis.
Untuk komen yang pertama. Hmm aku jadi pengen nanya balik nih kayaknya, agak kurang paham gimana ya. Trus kok sopan banget…ayo, tunjukin sifat aslimu ?? hehe.
Oke…kurasa itu emang salahku sebagai pengedit, terlalu banyak yang dipangkas sampai paragrap 4-5 itu jadi keliatan kurang nyambung sama yang laen. Pembagian paragrap sebenernya juga gak seperti itu, ini versi ringkasnya aja.
Soalnya esai beliau ini kalo komplit sebenernya panjang banget, jadi aku seleksi diambil hal-hal yang menurutku paling relevan aja, dan agak dimodifikasi dikit (ngaku dosa deh). Kayaknya lebih pas dengan tampilan blog nya juga. Supaya lebih puas dan bisa lebih ngerti maksud sang pengarang sebaiknya baca tulisan aslinya. Kalo mau bisa ku email-in teksnya entar.
Ngomong2 komen kamu juga puitis loh tukiyem.
Untuk Ken Bandung. Btw, salam kenal ya.
Kurasa tanggapan untuk komen kamu bisa diambil dari tulisan di atas juga :
“Saat ia sedang bercanda, ada orang yang mengira ia lagi serius, lalu mengecam hal-hal yang dianggap tidak pantas dalam omongannya. Gaya sarkasmenya dipandang sebagai pendapat harafiah…”
Kalo dalam pengertian aku sebenernya si pengarang sama sekali enggak menyarankan orang untuk bunuh diri kok. Jika dibaca pelan-pelan dari atas, kurasa jelas kalau dia sekedar menyindir dan mengkritik betapa masyarakat umum “membenci” seorang pemalu, betapa negatifnya reaksi mereka terhadap seorang pemalu, betapa tidak bersimpatinya. Itu cuma ilustrasi penekanan aja, gaya bahasanya emang begitu, melebih-lebihkan dan mengandung ironi…sebagai sindiran aja. Seperti kata tukimin, itu musti diliat dalam konteksnya. Jerome K. Jerome ini terkenal sebagai penulis humoris dan di jamannya dia itu gaya penulisan sarkastik seperti itu kayaknya udah biasa.
Aku pribadi pada dasarnya setuju banget kok dengan inti komen kamu. Menurutku kita enggak boleh mengakhiri hidup kita karena bukan kita sendiri yang nyiptain.
katanya seh seorang penerjemah punya hak untuk menyesuikan teks yang diterjemahin biar bisa dipahami pembaca, dalam arti socio cultural, atau disensor kalo ada yang nggak berkenan.
kayaknya asik kalo baca teks aslinya,, tapi baca terjemahan gak kalah asiknya, gak usah buka buka kamus..
ayo imesaya, diterjemahin yang lebih banyak lagi...
inget, bukan tukiyem, but tukimin!!
salam kenal juga imesaya...
jangan salah nyebut nama dong imesaya, tuhkan yang punya namanya jadi bt....
betul ga mas tukiyem.... eh... mas tukimin... :DD
uhuh... sebel dech...
Ehh kukira tukiyem gak kalah keren sama tukimin kok…maap, ya, maap.
Menyedihkan...
Permisi...
Anw. Boleh ngak email kn za asli.y alnya saya suka banget tulisannya...
Aslnya ini sangat mirip dengan kehidupan saya....
Please...
Seorang pemalu hidupnya bagaikan sebuah drama ,seolah olah hidup di kerumunan orang yang pintar bicara bisa segalanya aku ingin berbicara dengan mereka namun apa daya suaraku yang lirih,takan mencapai telinga mereka,ucapan mereka sangat cepat tak bisa aku mengejarnya,,kini aku tak punya teman ataupun kekasih,tak ada satupun yang perduli....terpuruk didalam kesunyian kamarku yang gelap sambil main hp....thanks!!!
Mana nih adminya,mentang2 dah sembuh kalian smua lupa sama orang yg masih menderita anjing
Post a Comment
jangan lupa pakai nama ya, kalo bisa pake google account.